Mensyukuri Nikmat Akal*
A. Pengertian Syukur
فَاذْكُرُوْنِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْا لِي وَلاَ تَكْفُرُوْنِ
Ingatlah
kalian semua kepada-Ku, maka Aku akan mengingat kalian, dan
bersyukurlah kalian kepadaKu, dan janganlah kalian ingkari (atas
nikmat)-Ku.
Syukur adalah
bentuk ketundukan hati dan ketaatan diri seorang hamba yang ditujukan
kepada Sang Pencipta, Alloh SWT, atas kenikmatan yang telah diterima (Syekh Dahlan, Jampes - Kediri).
Ibnu Mas’ud dalam sebuah riwayat mengatakan bahwa syukur adalah
sebagian dari iman. Artinya, keimanan seorang hamba tidaklah sempurna
tanpa adanya syukur.
Apabila memperhatikan ayat di atas, akan ditemukan pemahaman yang luar biasa atas pentingnya syukur. Bentuk kalimat amar atau perintah pada kata “وَاشْكُرُواْ” dalam ayat di atas memberikan pemahaman bahwa syukur merupakan suatu kewajiban. Hal ini berdasarkan kaidah fiqih al amru lilwujub, perintah itu menunjukkan kewajiban. Orang yang bijaksana tentu paham
bahwa suatu kewajiban apabila tidak dilaksanakan akan menyebabkan
sesuatu yang tidak baik, bagi diri sendiri maupun orang lain
disekitarnya.
B. Kedudukan Akal Bagi Manusia
Dari sudut pandang agama, manusia tak ubahnya seperti hewan. Sebab, ibarat perangkat elektronik, software dan hardware yang berlaku dalam diri manusia tidak berbeda dengan software maupun hardware yang ada pada makhluk hidup lainnya. Kebutuhan primernya pun sama. Hanya satu bagian yang berbeda dan membedakannya, brainware. Yah, manusia (bisa) berbeda dengan hewan maupun makhluk lainnya jika brainware-nya
berfungsi dan difungsikan. Jauh - jauh hari para ulama telah
menyampaikan gambaran manusia dengan mendefinisikan manusia sebagai
berikut:
اَلْإِنْساَنُ حَيَواَنٌ ناَطِقٌ
Manusia itu adalah hewan yang berbicara
Berbeda
dengan suara atau bunyi, “berbicara” terjadi setelah adanya proses
panjang yang disebut “berpikir”. Singkatnya, perbedaan manusia dengan
hewan adalah adanya proses berpikir. Dengan kata lain, apabila manusia
tidak menggunakan unsur ‘nathiq’ dalam
berbicara maupun bertindak, maka dia tak ubahnya hewan. Bahkan dalam
al-Qur’an dijelaskan, apabila manusia bertindak hanya menuruti kebutuhan
hawa nafsu atau nafsu hewaniyah saja, maka manusia yang demikian itu
derajatnya sama seperti hewan, bahkan lebih hina.
C. Mensyukuri Nikmat Akal
Syukur atas nikmat adakalanya dengan mengucapkan hamdalah dan membagi kebahagiaan atas nikmat tersebut dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan tuntunan dalam surat Adl-Dluha (93) ayat 11:
وَأَمّاَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
Dan terhadap nikmat tuhan-Mu hendaklah kamu siarkan
Namun
perlu diingat bahwa syukur tidak cukup hanya dengan diucapkan, sebab
penggunaan atas nikmat pemberian Alloh akan dimintai pertanggung jawaban
di yaumul hisab. Ini jelas tergambarkan dalam surat At-Takaatsur (102) ayat 8:
ثُمَّ لَتُسْئَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيْمِ
Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu gunakan di dunia)
Akal
adalah nikmat terbesar yang diberikan Alloh SWT kepada manusia. Sebagai
tanda syukur, akal harus digunakan sesuai fungsinya, dikembangkan, dan
diarahkan untuk memperkuat Aqidah Islamiyah. Ingatlah janji Alloh SWT ini:
لَإِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيْدَنَّكُمْ وَلَإِنْ كَفَرْتُمْ إنَّ عَذاَبيِ ْلَشَدِيْدٌ
Sungguh jika kalian bersyukur maka pasti akan Aku tambahkan kepada kalian (nikmat-Ku), dan sungguh jika kalian kufur (atas nikmat yang Aku berikan) maka sesungguhnya siksa-Ku pasti amat pedih…
Akal
akan semakin bertambah cemerlang dan terarah bila kita mensyukurinya,
yaitu dengan selalu menggunakannya sesuai tugas manusia di dunia.
Sebaliknya, akal akan menjadi adzab bila tidak digunakan sesuai
fungsinya. So, mari berkarya dengan akal kita ...
*Guru BK SMP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar